Nasionalisme Indonesia merupakan nasionalisme yang sepenuhnya mendasarkan diri pada nilai kemanusia
Dalam persfektif sosiologis Indonesia,
memisahkan esensi dan hakikat nasionalisme (kebangsaan) Indonesia
dari watak dan karakternya yang bersifat anti-penjajahan
(kolonialisme), anti-imperialisme, dan anti-kapitalisme merupakan
bentuk pengingkaran atau wujud penolakan terhadap nilai dan hakikat
kemanusiaan bangsa Indonesia itu sendiri.
Nilai dan hakikat
kemanusiaan (atau perikemanusiaan) adalah akar filosofis yang
mengilhami tesis pemikiran nasionalisme Indonesia, sekaligus landasan
fundamental berdirinya bangunan kebangsaan Indonesia.
Nasionalisme Indonesia merupakan
nasionalisme yang sepenuhnya mendasarkan diri pada nilai-nilai
kemanusiaan (perikemanusiaan) yang hakiki dan bersifat asasi.
Bertujuan mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan setiap bangsa,
untuk hidup bersama secara adil dan damai tanpa diskriminasi apa pun
dalam hubungan-hubungan sosialnya.
Inilah yang membedakan pemikiran
nasionalisme Indonesia bukan sebagai bentuk duplikasi paham
nasionalisme bangsa lain. Pengertian nasionalisme itu sendiri secara
harfiah memiliki pengertian sifatnya universal bagi semua bangsa.
Diktum pemikiran ini tentu bukan karena manifestasi sikap
ultra-nasionalistis atau semacam pembengkakan ego-nasionalisme yang
kelewat besar belaka, melainkan inilah kenyataan sejarah pertumbuhan
dan perkembangan pemikiran nasionalisme Indonesia dalam proses
pembentukannya di masa lampau.
Persoalan menarik yang mengemuka dalam
konteks ini adalah, sejauh mana komitmen kita sebagai generasi
penerus bangsa dalam memelihara dan menjaga kemurnian esensi dan
hakikat pemikiran nasionalisme Indonesia, serta dalam memaknainya
pada konteks kekinian zaman.
Esensi Nasionalisme Indonesia
Sejak lahirnya, nasionalisme Indonesia
sudah menyatakan diri secara tegas sebagai anti-penjajahan
(kolonialisme), anti-imperialisme, dan anti-kapitalisme. Penegasan
ini berangkat secara mendasar dari pengalaman objektif bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang pernah terjajah dan dijajah selama
lebih kurang tiga setengah abad.
Pengalaman objektif sejarah bangsa di
masa lampau merupakan pengalaman pahit sejarah kemanusiaan, ditandai
dengan berlakunya sistem kehidupan yang bersifat anti-sosial dalam
hubungan sosial masyarakat bangsa di bawah alam penguasaan
kolonialisme-imperialisme.
Sistem kehidupan yang anti-sosial tersebut
bersifat menindas dan secara sistematis memperkosa nilai kemanusiaan
dan martabat bangsa dalam segenap aspek kehidupan. Sistem ini
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ciri kehidupan
kapitalistik kaum penjajah, yang diterapkan terhadap kehidupan sosial
masyarakat bangsa Indonesia ketika itu.
Kehadiran kolonial di Tanah Air yang
semula bermotif perdagangan, perlahan meningkat ke arah monopoli
hingga puncaknya yakni pemberlakuan cultuurstelsel. Berbarengan
dengan itu, dilakukanlah perekayasaan sosial (supra maupun
infra-struktur) masyarakat bangsa.
Penaklukan demi penaklukan,
penindasan demi penindasan, berikut politik adu domba devide et
impera dilakukan secara sistematis, untuk menguasai serta menguras
sebanyak-banyaknya potensi sumber daya alam negeri ini. Inilah fakta
sejarah yang dialami bangsa kita di masa lampau.
Berangkat dari fakta sejarah tersebut,
para intelektual pendahulu kita selanjutnya menggali serta
mengartikulasikannya dalam suatu rumusan sistematis saat menyusun dan
membangun gerakan perlawanan modern terhadap penguasaan kolonial.
Lahirlah pemikiran nasionalisme Indonesia sebagai wujud manifestasi
penolakan terhadap sistem kehidupan kapitalis kaum penjajah.
Singkatnya, semangat nasionalisme yang anti-kolonialisme,
anti-imperialisme, dan anti-kapitalisme.
The founding fathers terdahulu
menyadari sepenuhnya, bahwa pemikiran nasionalisme Indonesia bukan
paham yang anti-bangsa, ras, atau negara tertentu. Namun, pemikiran
yang secara objektif melihat sistem kehidupan yang menindas pada
zaman tersebut.
Itu sebabnya, Bung Karno sebagai salah satu aktor
intelektual bangsa terdahulu, bukan saja melihat ancaman kapitalisme
semata-mata dari bangsa asing (Barat), melainkan juga ancaman
kapitalisme bangsa sendiri. Menurut Bung Karno, kapitalisme bukanlah
identifikasi suatu bangsa tertentu, melainkan suatu paham atau sistem
pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum
buruh dari alat-alat produksi.
Nasionalisme di Era Globalisasi
Sebagai generasi penerus bangsa, dewasa
ini kita dihadapkan pada dua sisi tantangan; menjaga kemurnian esensi
serta hakikat nasionalisme Indonesia (yang berarti juga menjaga
kemurnian nilai-nilai kemanusiaan) serta berupaya secara aktif
mengantisipasi perkembangan situasi zaman khususnya, arus globalisasi
yang sedemikian hebat pengaruh dan implikasinya.
Dari dua sisi
tantangan inilah kita dapat menempatkan posisi dan peran strategis
yang bagaimana mesti kita selenggarakan/jalankan.
Menjaga kemurnian esensi nilai-nilai
kebangsaan selain merupakan keharusan komitmen sejarah, juga
merupakan manifestasi perjuangan tuntutan budi-nurani kemanusiaan
kita sebagai bangsa atau tuntutan manusia Indonesia. Oleh sebab itu,
esensi dan hakikat nasionalisme Indonesia yang dahulu telah
diartikulasikan para pendahulu kita, wajib untuk kita lanjutkan serta
wariskan pada generasi berikutnya.
Perjuangan melawan kolonialisme,
imperialisme, dan kapitalisme merupakan perjuangan yang masih tetap
relevan selama ketidakadilan dan penindasan nilai-nilai kemanusiaan
masih terjadi di belahan dunia mana pun.
Perkembangan atau perubahan zaman bukan
berarti berubahnya esensi dan hakikat perjuangan kebangsaan.
Perubahan yang mungkin terjadi semata-mata hanya menyangkut bentuk
atau format perjuangan. Jika di masa lampau, perjuangan the founding
father terdahulu dalam bentuk fisik (revolusi kemerdekaan) yang
dengan sendirinya mengharuskan perjuangan bersenjata, dewasa ini
perjuangan tersebut terselenggara dalam bentuk atau format non-fisik.
Mencermati esensi perkembangan zaman
globalisasi dewasa ini, sudah seharusnya kita menaruh kewaspadaan
terhadap gelagat perkembangan globalisasi tersebut. Kewaspadaan yang
didasarkan sepenuhnya terhadap upaya kita menjaga dan memelihara
esensi perjuangan kebangsaan kita sendiri.
Hal ini menjadi cukup
penting mengingat di balik perkembangan global yang terjadi dewasa
ini, sesungguhnya tidak bergeser dari watak dasar
kolonialisme-imperialisme-kapitalisme tua yang sifatnya
mengeksploitasi, menjajah, dan menindas. Namun, dalam metode dan
modus yang dikemas baru.
Atas nama globalisasi, jaringan
kapitalisme dunia dengan metode manajemen multinational corporation
disusun secara apik guna menjarah sebesar-besarnya sumber daya alam
negara-negara berkembang/terbelakang.
Melalui pendekatan pilihan
penyebaran jaringan industrinya pada kawasan-kawasan wilayah tertentu
secara parsial, dominasi keunggulan teknologi (hi-tech) akan tetap
berada di pihak negara induk MNC tersebut. Alih teknologi yang
sesungguhnya hanya menjadi sebuah mimpi bagi dunia ketiga.
Negara dunia ketiga ditindas atau
diperkosa hak-hak kemanusiannya dalam wujud western-dream,
konsumerisme, struktur uang luar negeri yang semakin membengkak dan
sebagainya. Inilah imperialisme-kapitalisme gaya baru yang
tersembunyi secara massif dalam mainstream arus globalisasi tersebut.
Mengingat bentuk “penjajahan”
tersebut telah bermetamorfosa dari bentuknya yang dulu, dalam konteks
Indonesia khususnya, perlawanan yang harus disusun tentulah dalam
bentuk baru juga.
Misalnya di bidang ekonomi, manifestasi perjuangan
kebangsaan kita sebaiknya diarahkan secara mendasar ke arah upaya
memaksimalkan basis perekonomian rakyat yang lebih berdikari.
Menguatnya basis perekonomian rakyat yang mencerminkan kekuatan
sendiri, pada akhirnya akan memperkuat struktur perekonomian bangsa
secara menyeluruh. Rakyat bukan lagi sebagai abdi kepentingan ekonomi
asing.
Memaksimalkan basis perekonomian
rakyat, sebuah upaya yang harus benar-benar dilandasi political-will
yang mendasar, konsisten dan bukan sekedar “politik etis”,
sebagaimana yang selama ini terjadi. Satu-satunya upaya kearah itu,
yang diamanatkan UUD 1945, adalah kehidupan perkoperasian sebagai
tulang punggung kehidupan ekonomi bangsa.
Nasionalisme dalam era global pada
hakikatnya menuntut kita untuk menyusun bentuk-bentuk baru modus
perjuangan kebangsaan, perjuangan kemanusiaan.
Globalisasi bukanlah
sebuah paradigma yang seakan-akan mengharuskan kita meninjau kembali,
atau mendefenisikan ulang pemahaman esensi serta hakikat nasionalisme
Indonesia sesuai parameter dan ukurannya. Sayangnya, banyak kalangan
yang justru berfikir demikian. Akhirnya lahirlah gagasan gila
“nasionalisme-baru” yang tidak lagi anti penjajahan
(kolonialisme) atau anti-imperialisme dan anti-kapitalisme.
*Penulis adalah Sekjen Presidium
Nasional Ikatan Alumni GMNI.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !